Dibaca Normal
Bima, Poros NTB.- Jika ada yang bertanya, batu apa yang paling terkenal di Kecamatan Woha Kabupaten Bima? Maka jawabannya adalah ‘Wadu Jara”. Jika di-Indonesiakan per kata, maka akan berarti ‘Batu Kuda’.
Batu yang berada di ujung barat kampung Pucuke/Dusun Tani
Mulya Desa Naru ini memiliki lingkaran sekitar 17 meter dengan panjang sekitar
9 meter. Tepat berada di sisi utara jalan yang menuju ke Desa Waduwani
Kecamatan Woha. Berdiri kokoh di kaki Gunung Samili.
Dipandang sekilas, secara keseluruhan bongkahan batu ini
tidaklah mirip dengan seekor kuda. Tapi mungkin karena dirasuki oleh sebutannya
sebagai ‘Wadu Jara’, sehingga Jika kita memandangnya sedikit lebih lama, maka
akan mengalirkan imajinasi ke dalam mata kita kepada seekor kuda. Ia
seolah seekor kuda perang jaman dahulu yang menjulurkan lehernya menghadap
selatan ke arah Gunung Karaci di Desa Tenga.
Imajinasi kita akan semakin mengental dengan adanya batu
kecil lain di dekatnya yang menyerupai tonggak. Sehingga Wadu Jara ini Nampak
terikat pada sebuah tonggak dengan bertalikan semak yang menjalar di
sekitarnya. Ia terlihat siap, kapan saja untuk ditunggangi dan diajak garang di
medan laga.
Kemungkinan besar, karena bentuknya yang seperti kuda
itulah maka ia dikenal dengan nama Wadu Jara. Dan para leluhur lantas
menanam mitos untuknya yang membuat keberadaan Wadu Jara ini semakin romantik
tertanam di hati masyarakat Woha. Sebuah mitos yang kemudian didongengkan dari
generasi ke generasi.
Konon katanya, Wadu Jara ini adalah seekor kuda
yang menjadi tunggangan seorang ‘Pahlawan Lokal’ Pucuke yang bernama La Ngamo
(Bahasa Indonesia : Si Garang). Pahlawan ini berasal dari Negeri Arab, yang
berperan untuk menghalau bala dan menghadang musuh bagi Kampung Syeikh (untuk
diketahui nama purba dari Pucuke, adalah Kampung Syeikh). Sehingga kampung ini
terhalang dari bala dan bencana.
Menarik, karena ada sebongkah batu lain di kaki Gunung
Karaci yang agak mirip dengan Wadu Jara. Ukurannya lebih kecil dari Wadu Jara dan
bagian depannya tumpul-datar menyerupai seekor kuda tanpa kepala. Konon ‘Kuda’
tanpa kepala ini adalah tunggangan dari La Garisi. Pahlawan Lokal Kampung
Tenga.
Dulu (sampai akhir era 90-an, sebelum hama siput
menyerang), Pucuke punya lahan luas (Limbu) sebagai penghasil Karebe (sejenis
umbi dari akar tanaman rumput yang bisa dimakan). Dan konon, Limbu penghasil
Karebe ini menjadi lahan sengketa antara La Garisi dengan La Ngamo.
Untuk mengakhiri silang sengketa ini, akhirnya La Garisi
menantang La Ngamo untuk berlaga duel di Bukit Taba’a (sebuah bukit yang
terletak antara Gunung Samili dan Gunung Karaci). Dan duel berakhir dengan
terdesaknya La Garisi sampai ia melarikan diri dan terkejar sampai di kaki
Gunung Karaci.
La Ngamo lantas menebas kutung kepala kuda tunggangan La
Garisi, yang akhirnya bertekuk lutut menyerah kalah. Dan Limbu pun tetap
menjadi hak milik Pucuke.
Setelah La Ngamo menutup usia, kudanyapun mengarca
menjadi Wadu Jara untuk membuat keperwiraan ‘Tuan’nya selalu dikenang hingga
kini. [Aden]
(Artikel ini pernah dimuat di portal jurnalisme warga
"JOMPA MBOJO dan KOMPASIANA)
COMMENTS