Dibaca Normal
Oleh: Muammar
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang)
Salah satu issu yang sedang banyak dibicarakan dan diperdebatkan oleh para masyarakat dan khususnya partai politik pasca pemilu adalah persoalah perebutan jatah menteri. Isu ini sangatlah panas hingga memicu perdebatan dingin antara sesame partai pendukung Jokowi-Amin.
Perebutan jatah menteri olah para partai politik pendukung Presiden terpilih, kini telah dipertontonkan kepada publik seakan kepentingan rakyat sudah tidak terpikirkan lagi oleh para elit-elit partai politik. Rakyat merasa dibohongi dengan janji-janji manis para elit partai politik pada masa kampanye yang lalu. Namun kini kepentingan rakyat tersebut seolah bukanlah sesuatu yang urgen untuk dibicarakan secara serius, mereka para elit partai politik terus memperdebatkan kepentingan itu untuk mendapat keuntungan yang lebih dalam struktur kekuasaan.
Perebutan jatah menteri dalam kabinet Joko Widodo- Ma’ruf Amin bukanlah lagi rahasia koalisi partai pendukung, akan tetapi telah menjadi rahasia umum. Hal itu terlihat beberapa partai yang sangatlah aktif memperjuangkan hal tersebut, bahkan ada partai yang memeinta 10jatah menteri dan ada juga yang dalam kongres partai secara terang terangan meminta jatah menteri labih banyak dari pada partai lain. Perebutan jatah menteri tidak hanya terjadi anatara para partai politik pendukung saja, akan tetapi ada juga ormas-ormas pendukung yang meminta jatah menteri dari presiden petahanan terpilih Joko Widodo.
Perebutan jatah menteri tidak hanya antara para partai pendukung dan ormas-ormas pendukung saja, partai yang semulanya berbeda haluaan dengan Joko Widido-Ma’ruf Amin kinipun juga ikut meminta jatah menteri. Dalam bacaan komunikasi politik dari setiap narasi kyang disampaikan oleh para elit partai politik dapat dilihat bahwa para elit partai lebihlah mementingkan kepentingan yang mewakili kelompoknya, walauapun dari narasi dan diksi yang disampaikan selalu saja menutupi keegoisan politiknya, akan tetapi selalu saja mereka mengulang-ngulang dan itu terkesan mereka menginginkan tapi tidak berbicara pada poinnya.
Rebutan jatah menteri yang dilakukan oleh para elit partai politik dan ormas-ormas pendukung presiden terpilih Joko Widodo- Ma’ruf Amin sangatlah tidak etis, disamping para elit tersebut lebih mementingkan egoisme kepentingannya kelompoknya mereka juga terkesan meletakkan kepentingan kelompoknya di atas kepentingan rakyat. Seharusnya partai politik mempunyai jiwa kepedulian terhadap keadaan bangsa saat ini, tidak menikmati dan berebut kekeuasaan tanpa hati. Ini sangatlah penting menjadi pembelajaran agar kita ini nai level secara peradaban supaya tidak rebut dalam hal-hal yang bersifat kekuasaan, sehingga tidak salah apabila publik menilai Rebutan Menteri, Rebutan Rezeki?
Rebutan menteri, rebutan rezeki? Rezeki seperti apa yang diperebutkan? Pertanyaan-pertanyaan demikian seharusnya menjadi acuan bagi partai politik dalam bertingkah laku dalam masyarakat. Apakah rezeki yang diperebutkan oleh para elit partai politik itu, jangan-jangan berhubungan dengan 2.000 triliun APBN setiap tahun, atau rezeki ribuan sumber daya alam kita yang dikuasai negara seperti yang disebutkan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga publik terus bertanya gunanya untuk apa? Membiaya partai politik?
Empat kali reshuffle dalam cabinet yang dilakukan oleh presiden Joko Widodo selama 5 tahun periode pertama pemerintahannya, ini menunjukan betapa kompromi-kompromi politik dengan partai politik pendukung harus diperbaharui secara terus menerus. Pada periode kedua pemerintahan ini, seharusnya presiden Joko Widodo harus lebih berani dalam mengambil keputusan politik terkait dengan pembentukan kabinet.
Apabila pada periode pertama terlihat kurang berani, maka publik masah dapat memahami, meningat ketika itu beliau notabene adalah figure baru dalam kancah politik nasional dan bukan penentu kebijakan dipartai politik, sehingga terpaksa untuk melakukan berbagai kompromi politik melalui empat kali perombakan kabinet. Namun, apabila pada periode kedua ini keberanian mengambil sikap politik tegas dalam pembentukan kabinet tersebut juga tidak terlihat maka presiden Joko Widodo haruslah siap menghadapi gelombang kekecewaan publik.
Betapapun ramainya pembicaraan di ruang publik selama beberapa minggu terakhir seputar komposisi kabinet, harus dipahami oleh semua pihak bahwa penentu akhir mengenai siapa saja nama yang akan mengisi pos kementrian adalah presiden Joko Widodo. Hal itu merupakan hak prerogative presiden sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang.
Mengabaikan kader-kader partai politik dalam pembentukan kabinet memang hamper mustahil dilakukan oleh siapa pun presiden Indonesia di tengah ketidak jelasan praktik sistem presidensial pasca-Orde Baru. Namun, tetap harus secara sungguh-sungguh dipastikan bahwa kader partai politik yang akan diangkat oleh presiden Joko Widodo sebagai menteri perlulah orang-orang berintegritas dan memahami betul apa yang harus dilakukan selama 5 tahun di kementerian yang dipimpinnya, sehingga hipotesa publik tentang Rebutan Menteri, Rebutan Rezeki tidaklah benar semuanya.!! (*)
COMMENTS