--> Napak Tilas Dosen yang Lahir Dari Masjid Al-Barokah Sudirman: "Sebuah Pembelajaran untuk Mengerti Cara Bersyukur" | Poros NTB

Napak Tilas Dosen yang Lahir Dari Masjid Al-Barokah Sudirman: "Sebuah Pembelajaran untuk Mengerti Cara Bersyukur"

SHARE:

Dibaca Normal

Amrin, SPd, MPd


Impian dan kenyataan tidak selalu jalan beriringan. Karena hidup ini ada suka dan duka sebagai penyeimbang agar kita bisa bersyukur. Akan ada tempat bagi orang yang bersungguh-sungguh. Kata orang, usaha tak akan mengkhianati hasil. Walaupun tidak menyampingkan ketetapan Illahi. Kisah perjalanan hidup seorang dosen STKIP Taman Siswa Bima Amrin SPd, MPd, dalam ikhtiarnya mencari jati diri sebagai mahasiswa meski tanpa dukungan orang tua berikut ini seolah membuktikan sebagian kecil kekuasaan Illahi. 


Penulis Edo Rusadin

"Saya mau bunuh diri setelah orang tua melarang untuk kuliah," kata Amrin. 

Kalimat tersebut rupanya cukup beralasan baginya. Amrin adalah seorang yang pandai dan selalu mendapat juara satu ketika mengikuti lomba di bangku SMA. Pantas saja jika ia mendambakan menjadi seorang mahasiswa. 

Kata dalam kata yang diucapkan Amrin cukup bermakna. Seolah gesturnya ingin menunjukan bahwa kuliah adalah hidupnya. Tanpa harus peduli dengan tetekbengeknya menjadi mahasiswa.

Amrin adalah warga Desa Ndano Mango Kecamatan Donggo, anak ketujuh dari delapan bersaudara. Ibunya Mujnah, meninggal pada 2005 silam. Karena hidup dengan ayah dan banyaknya saudara, rupanya membuat mereka harus bisa mandiri. 

Ekonomi keluarga yang serba terbatas memaksa mereka untuk saling mengerti dengan keterbatasan yang ada. Hingga pada akhirnya, Amrin harus mengalah dari kakak-kakaknya untuk mendapat jatah biaya kuliah. Karena kebetulan saat Amrin lulus SMA, masih ada kakaknya yang sedang menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Sehingga beban keluarga akan berat jika Amrin harus dipaksakan kuliah. 

Mendapati kenyataan tersebut, membuat Amrin frustasi. Saat itu, dalam pikirannya bagaimana bisa pergi dari rumah. Entah untuk melanjutkan hidup atau mati. Ia tak tahan harus berada di rumah yang tak peduli dengan perasaannya. Ditambah lagi tekanan yang ia dapatkan dari saudara-saudaranya. Kondisi ini membuat dia stres dan putus asa. 

"Pilihannya saat itu ada dua. Antara mati tau menjadi gila," ujar Amrin penuh makna. 

Benar saja, Amrin sempat ingin mengakhiri hidupnya sendiri karena tak kuat menahan beban pikiran. Selain karena tidak bisa kuliah, ia merasa bahwa ada ketidakadilan yang ia terima. Di saat puncak dari kegundahan hatinya tengah meronta, datang seorang teman yang menawarkan sebuah pekerjaan. 

Tawaran itu mengalihkan pikirannya yang sedari tadi sudah begitu kacau. Seketika ia langsung mengangguk, menerima tawaran temannya. Ia akan bekerja di Tambora. Alasan Amrin cuma satu, yaitu bisa pergi dari rumah. Walaupun ia nggak tahu pekerjaan apa yang harus dikerjakan nantinya. 

Amrin mengemasi barang-barang lalu menuju tempat kerjanya di Tambora. Saat tiba di lokasi, ratusan kubik kayu jati sudah menunggunya di puncak gunung. Iya, pekerjaan Amrin adalah menjadi buruh kayu di puncak Tambora. Amrin harus memikul kayu-kayu tersebut hingga ke kaki gunung untuk diangkut oleh mobil. 

Amrin tak berkecil hati. Ia lalui pekerjaan itu dengan harapan dia bisa punya uang dari penghasilannya sendiri dan bisa melupakan keinginannya menjadi mahasiswa. Upah Amrin hanya Rp 15 ribu per sekali jalan memikul kayu jati dengan bobot 50 kilogram dengan jarak sekitar satu setengah kilometer. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan. 

Hari berlalu begitu cepat, Amrin mulai mendapatkan penghasilan sendiri walau tidak banyak. Di sela-sela pekerjaannya, kadang dia merenung dengan pekerjaannya yang tidak bisa menjamin masa depan yang layak. Ia kembali teringat dengan impiannya menjadi mahasiswa. 

Saat itu uang di dompet sebanyak Rp 1.5 juta. Kebetulan, penerimaan mahasiswa baru sebentar lagi akan ditutup. Hatinya bergairah untuk kembali melanjutkan impian menjadi mahasiswa. Tak tunggu waktu lama, paginya Amrin bertolak menuju STKIP Taman Siswa Bima dan mendaftar sebagai calon mahasiswa. 

Dengan uang hasil tabungannya, dia habiskan untuk biaya pendaftaran sekitar Rp 300 ribu. Sisanya ia simpan baik-baik untuk kebutuhan kuliah. Pengumuman kelulusan pun dilakukan. Amrin akhirnya resmi menjadi mahasiswa. Mimpi itu kini terwujud, walau tidak tahu bagaimana cara membayar SPP nantinya. Yang penting sudah sah menyandang status mahasiswa. 

Awal masuk kuliah, ia harus dihadapkan dengan biaya pendaftaran ulang untuk kebutuhan kuliah. Sisa uang di sakunya masih cukup untuk membayar tagihan tersebut walau tersisa sedikit. Setelah merampungkan pembayaran administrasi perkuliahan, Amrin langsung mengabari keluarganya. Dengan bangga mengatakan bahwa dia sudah menjadi mahasiswa di STKIP Taman Siswa Bima. 

Dia merasa keluarganya akan senang mendengar hal itu. Tapi nyatanya tidak. Justru keluarga menanyakan bagaimana kelanjutan biaya kuliah. Keluarga tetap tidak bisa membantu membayar kuliah Amrin dan menyarankan agar mengurungkan niatnya. 

Nasi sudah jadi bubur. Amrin menerima konsekuensi dari pilihannya menjadi mahasiswa. Walau tak mendapat restu keluarga. Karena uang jutaan rupiah dari upah buruh kayu selama ini sudah digunakan untuk biaya awal kuliah. Tentunya uang itu tidak bisa diminta kembali. 

"Saya katakan pada keluarga, biarkan saya merasakan dulu menjadi mahasiswa. Saya minta tempo selama tiga bulan. Jika memang saya tidak sanggup, saya akan kembali menjadi petani," ujarnya. 

Keputusan sudah diambil. Mau tidak mau, suka tidak suka Amrin harus mencukupi kebutuhannya sendiri dengan sisa-sisa uang di kantongnya. Kini dia sebatang kara hidup di sekitar kampus STKIP Taman Siswa Bima. Karena untuk kembali ke rumah sudah tidak mungkin. 

Tiga hari lagi Ospek mahasiswa baru akan dimulai. Dia bingung mau tidur di mana, karena tak punya kos. Sementara sisa uangnya hanya cukup untuk makan dua hari. Dari sini mulailah Amrin kelimpungan dengan kehidupan menjadi mahasiswa. Malam pertama hingga tiba Ospek, ia masih bisa numpang nginap di kos teman sekampungnya. 

Masa-masa sulit terus mendera. Setiap malam ia harus mencari tempat penginapan. Nginap di kos teman yang satu ke kos teman yang lain. Sedangkan untuk makan, ia harus memelas ke teman-teman perempuan sekampungnya. Meski acap kali Amrin harus menerima umpatan. Tapi untuk bisa bertahan hidup, demi suatu gelar sarjana, ia menerima semua umpatan tersebut dengan senyuman. Ia tetap berterimakasih kepada teman-temannya yang sudah memberinya makan. 

"Hingga sekarang saya masih ingat umpatan dari Ayu dan Dina setiap kali saya minta makan. Mereka sangat baik, walaupun kadang mereka begitu (mengumpat). Tapi bantuan mereka sangat berharga dan hanya mereka yang selalu saya ingat atas jasanya," kenang Amrin penuh haru. 

Selama setahun ia harus hidup bergantung pada teman-temannya. Dia sadar bahwa apa yang dilakukan sangat membebani orang lain, apalagi dia dan teman-temannya sama-sama mahasiswa. Ia mulai berpikir untuk mencari solusi atas masalah yang dialami. Hingga dia harus pasrah. Amrin ingin kembali ke orang tuanya dan menjadi petani. Karena ia tidak lagi sanggup melanjutkan studinya dengan kondisi yang sangat terbatas. 

Hari itu senja mulai menunjukan warna keemasan di barat langit Bima. Ia berjalan keluar dari kos-kosan temannya dengan tas ransel di punggungnya. Ia pasrah dengan keadaan yang tak lagi memihak. Amrin ingin pulang. 

Di halte bis depan kampus setempat, ia menunggu mobil yang bisa membawanya pulang. Namun karena saat itu sudah hampir gelap, sehingga bis yang ditunggu tak kunjung tiba. Suara adzan magrib dari Masjid Al-Barokah Sudirman yang berada di dalam kampus pun mengumandang. Beberapa warga luar kampus dan mahasiswa solat berjamaah di sana. 

Amrin tergerak untuk sholat dulu di masjid sambil menunggu bis berikutnya. Di dalam masjid yang dibangun almarhum maha guru pendiri STKIP Taman Siswa Bima, H. Sudirman Ismail, MSi tersebut ia menangis. Dalam sujud, ia mengadukan nasibnya pada yang maha kuasa. Ia tak kuasa lagi menghadapi beban hidupnya. Dia terus berdoa dan meminta agar tetap teguh dan kuat menjalani semua ini. 

Di masjid itu Amrin rupanya mendapatkan ketenangan jiwa. Sehingga ia memutuskan untuk bermalam di masjid dan merencanakan pulang keesokan harinya. Hingga sampai pada waktu sholat subuh tiba, ia terbangun dan berinisiatif mengumandangkan adzan. Suara adzan Amrin sangat merdu dan menyita perhatian. 

Selepas sholat subuh, ia tak lagi memikirkan untuk pulang kampung dan menjadi petani. Dari masjid tersebut ia mendapatkan asa baru untuk tetap berjuang dengan segala keterbatasan yang ada. Amrin mendapat semangat lagi untuk tetap kuliah dan bertekad membuktikan kepada keluarganya bahwa ia mampu hidup mandiri. 

Sikap Amrin rupanya menyita perhatian pengurus masjid dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Taman Siswa Bima. Pengurus masjid yang mengetahui kondisi Amrin menyarankannya untuk tinggal di masjid saja. Dia diberi tempat untuk tinggal di masjid dengan syarat bisa membersihkan masjid setiap waktu sholat tiba. 

Disinilah titik balik dari kehidupan seorang Amrin. Ia memulai hidup barunya dari masjid tersebut. Ia memulai segala impiannya dari masjid ini. Seolah ia terlahir kembali. 

"Yang penting saya punya tempat tinggal. Di masjid Al Barokah Sudirman sudah cukup buat saya. Selain karena ada tempat beristirahat, di masjid ini saya bisa memperdalam ilmu agama dan lebih dekat dengan Allah," ujar pria kelahiran Ndano Mango, 10 Desember 1993 ini. 

Dari masjid tersebut Amrin lebih dekat dengan Allah dan lebih banyak belajar ilmu agama. Karena ketekunannya beribadah, seperti tadarusan Al Qur'an, suara adzan nya yang merdu, ia pun dipercaya untuk memberi kultum kepada jemaah solat duhur. Ini karena Amrin tekun belajar agama selama tinggal di masjid. 

Untuk urusan makan, menurut dia banyak jalan menuju Roma. Ia memulai dengan menjajakan jasa mencuci pakaian mahasiswa demi tetap bisa bertahan hidup. Ia keliling setiap kos-kos mahasiswa menawarkan jasanya. Meski tidak begitu banyak yang berminat, tapi ada saja rezekinya sehingga bisa memenuhi uang makan setiap hari.

Untuk seorang bujangan, Amrin tak pernah merasa malu. Bahkan setiap musim panen, ia kerap menjadi buruh menyabit padi para petani, kadang juga menjadi buruh bangunan saat tidak ada jadwal kuliah. Semua itu ia lakukan dengan tabah demi sebuah cita-cita. 

"Semua pekerjaan sudah saya lakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kadang juga saya ikut demo jadi aktivis jalanan hanya untuk mendapatkan nasi bungkus," katanya. 

Karena kerap menjadi buruh tani, dan mencuci pakaian mahasiswa rupanya sedikit membantu biaya makan sehari-hari. Bahkan, bisa lebih dari itu jika banyak orderan. Perlahan kondisinya membaik. Setidaknya ia tak lagi harus memelas kepada teman-temannya untuk meminta makan. 

Keteguhan hatinya untuk belajar agama sekaligus sebagai tenaga kebersihan masjid tanpa dibayar, serta acap kali terlihat naik mimbar membawakan kultum, rupanya menarik perhatian Ketua STKIP Taman Siswa Bima, Dr. Ibnu Khaldun Sudirman, MSi. Barulah Amrin diajak untuk bantu-banti di kampus dengan menjadikannya pegawai. Walaupun saat itu ia masih memiliki tanggungan biaya kuliah. Namun ia tak pernah lagi meminta-minta maupun mengharap imbalan dari apa yang ia lakukan di kampus tersebut, semuanya ia lakukan dengan ikhlas. 

"Buat saya, punya tempat tinggal di masjid ini sudah sangat bersyukur. Selama saya di sini, untuk makan tidak pernah kekurangan walaupun saya tidak punya pekerjaan tetap," akunya. 

Lalu bagaimana Amrin bisa membayar iuran SPP? Dia menceritakan, jika beberapa bulan ia harus nunggak SPP. Bahkan pada saat naik semester tiga ia masih belum bisa membayar kuliah. Namun setelah ada panggilan menjadi buruh bangunan dan mencuci pakaian mahasiswa, ia mulai menyicil tunggakannya. Meski sedikit-sedikit, tapi sangat efektif meringankan tunggakan tersebut. Selain itu, ia juga punya pendapatan dari honor me jadi pegawai di kampus setempat.

Amrin adalah mahasiswa yang cerdas di kelasnya. Sebagai mahasiswa Prodi Sejarah, ia selalu meraih nilai IPK tertinggi di jurusannya. Hingga pada suatu hari keberuntungan pun memihak kepadanya. Amrin mendapat beasiswa prestasi dari Dikti sebesar Rp 4.4 juta. Inilah yang menjadi cikal bakal kehidupan Amrin yang sesungguhnya. 

Dia bahagia, bangga dan haru. Saat menerima beasiswa tersebut, ia menangis tersedu. Ia percaya dengan uang itu dia mampu menyelesaikan kuliahnya. 

"Saya sangat bersyukur dengan beasiswa itu. Terimakasih kepada Allah atas karunia-Nya yang sungguh luar biasa bagi perjalanan hidup saya," ucapnya. 

Uang tersebut ia gunakan untuk membayar sisa tunggakan. Sementara untuk SPP semester 4 ia sudah dibebaskan dari biaya oleh kampus. Dari sisa uang beasiswa, ia gunakan untuk membeli tanah lelang di area pegunungan. Kemudian membeli bibit jagung sebanyak 10 kilogram. 

Amrin mulai mengelola tanahnya di kampung. Karena dia yakin dengan bertani akan mampu mencukupi biaya kuliahnya kelak. Benar saja pendapatan dari bertani jagung mencapai 4 ton dengan harga Rp 1.7 ribu per kilogram saat pertama panen. 

Untung dari bertani jagung ia gunakan untuk kuliah. Selain itu, dia juga tidak lupa dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Sisa biaya kuliah dan kebutuhan tanam berikutnya, ia bantu untuk membayar hutang orang tuanya. Kemudian keuntungan pada musim tanam berikutnya ia justru sudah bisa membiayai kuliah kakaknya di Makassar. 

Tidak sampai disitu, sebagai bentuk pengabdian kepada keluarga, ternyata diam-diam ia menyisipkan sedikit keuntungannya selama lima kali panen jagung untuk menyetorkan uang haji sang ayah. Dia ingin ayahnya bisa naik haji dengan sedikit keuntungan yang dia peroleh dari bertani jagung. Keluarga dan saudaranya kaget dan bangga dengan sikap Amrin.

"Alhamdulillah, saya dan kakak-kakak bisa patungan untuk setor uang haji untuk bapak," ujarnya, penuh bangga. 

Karena keuletannya membagi keuntungan dari hasil jagung membuatnya mampu menambahan lahan lagi. Dia terus putar uang itu untuk membeli tanah lelang baru hingga tanah gadai. Hasilnya cukup membantu segala kebutuhan kuliah Amrin maupun keluarga. 

Seiring waktu berjalan, Amrin pun menyelesaikan studinya di STKIP Taman Siswa Bima. Ia menjadi salah satu wisudawan terbaik dengan menempuh waktu studi hanya 3.8 tahun. Tulisannya menjadi skripsi terbaik saat itu. Suatu prestasi yang prestisius dan jarang. Sebagai wisudawan dengan pujian, Amrin penuh bangga dan percaya diri naik mimbar wisuda. 

Usai proses wisuda, dimana sejumlah wisudawan lain sedang berbahagia dan mengikuti proses foto-foto bersama keluarga, Amrin justru menangis sekencang-kencangnya. Bulir air matanya membanjiri Samir dan Gordon wisuda yang ia kenakan. Ternyata di hari bahagia itu, satupun keluarganya tak ada yang hadir. Ia tidak tahu kenapa keluarganya tidak bisa datang, padahal ia sudah memberitahu dan mengirimkan undangan. Ia terus menangis sejadi-jadinya.

Di saat itu ia benar-benar merasa sendiri. Tak ada yang menemaninya, merayakan kesuksesan meraih gelar sarjana dengan predikat cumlaude. Di sudut ruangan tersebut, Ketua STKIP Tamsis Dr Ibnu Khaldun Sudirman, MSi di sela-sela aktifitasnya melayani permintaan foto bersama keluarga wisudawan menoleh ke arah Amrin yang terus menangis. Dr Ibnu lalu mendekati dan memberikan dukungan buat Amrin. 

"Saat itu, hanya pak Ibnu yang merangkul saya dan mengajak foto. Tidak ada orang tua ataupun keluarga. Mungkin mereka tidak bisa datang karena kendala transportasi," kenangnya penuh lirih. 

Amrin tidak ingin lama-lama bersedih. Ia kembali bangkit dan memutuskan untuk melanjutkan studi S2 ke Makassar. Keputusan ini ia ambil karena merasa dia masih bisa mencukupi kebutuhannya dengan mengelola jarak jauh tanaman jagungnya. Ia pun bergegas menuju Makassar. Dia memilih Universitas Negeri Makassar (UNM). 

Proses awal kuliah S2 hampir sama saat ia masuk menjadi mahasiswa S1 dulu. Sama-sama kekurangan biaya. Kali ini Amrin benar-benar hanya bermodalkan nekat. Yang ia tahu saat itu, ada kemauan pasti ada jalan. Semuanya ia lalui begitu saja. Ia hanya minta restu orang tua dan keluarga sekalipun mereka tidak pernah mendukungnya untuk kuliah. 

Lagi-lagi ia tak punya kos. Kembali ia mengulang ceritanya saat S1. Ia numpang di rumah salah satu dosen STKIP Tamsis di Makassar selama beberapa hari sembari menunggu kelulusan. 

Setelah dinyatakan lulus, Amrin mencari kos yang murah walau agak jauh dari kampus tapi masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Untuk biaya kuliah dan kos saat itu sebanyak Rp 15 juta. Uang itu dia peroleh dari keuntungan sisa jual jagung sebanyak Rp 7 juta dan Rp 3 juta lainnya diperoleh dari penjualan tanah lelang bersama tanamannya. Namun Amrin masih punya beberapa bidang tanah lagi untuk dikelola. 

"Sisa Rp 5 juta yang harus saya bayar. Saya bingung mau pinjam uang siapa. Saya terpaksa menghubungi pak Ibnu dan meminta bantuan beliau. Atas izin Allah, pak Ibnu langsung memberikan sejumlah uang yang saya butuhkan. Saya sangat bersyukur, melalui pak Ibnu, Allah berikan jalan buat saya," ucapnya. 

Perkuliahan pun dimulai. Amrin tidak main-main dalam hal belajar. Ia bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Hingga ia dipercaya sebagai asisten dosen, Profesor, Dr. Syamsul Bachri MSi. Ia membantu sang dosen untuk mengajar di fakultas FIP Ilmu Pendidikan Prodi BK. Bahkana, Amrin mendapat tawaran untuk mengajar di Makassar dari Prof. Dr. Syamsul Bachri, MSi. Tapi ia menolak karena sudah cinta dengan STKIP Taman Siswa Bima.

"Dari situ (Menjadi asisten dosen) saya dapat uang belanja, makanan dan pakaian. Sekitar satu tahun lebih saya menjadi asisten beliau," ujarnya. 

Selama perkuliahan itu, Amrin rupanya cukup dikenal oleh mahasiswa Bima di Makassar. Terlebih dia menyandang status sebagai asisten dosen. Hal ini rupanya menarik perhatian seorang perempuan bernama Mulisa. Secara status sosial, Amrin yang sudah menempuh S2 cukup menjadi bahan pertimbangan bagi kaum hawa sehingga wajar saja jika Amrin menjadi idaman. Amrin pun akhirnya memiliki kekasih, Mulisa, S.Kep, Ners, adalah satu-satunya pacar Amrin yang kini sudah ia persunting.

Pria hitam manis ini tergolong orang-orang yang beruntung. Selain cantik, baik dan pintar, kekasihnya ini berasal dari keluarga yang berkecukupan. Bahkan, untuk biaya kuliah dan wisudanya, Amrin mendapat donor dana sebesar Rp 14 juta dari calon mertuanya. Jarang-jarang seorang calon mertua begitu perhatian dengan calon menantunya hingga harus merogoh kocek yang tidak sedikit. 

Bantuan dari calon mertua cukup untuk membantu kuliahnya ditambah lagi oleh bantuan dari STKIP Taman Siswa Bima sebesar Rp 6 juta rupiah.

Usai menuntaskan studi, Amrin menunaikan janjinya untuk kembali ke STKIP Taman Siswa Bima. Ia menikah dengan kekasihnya yang ikut berjuang bersama dan mendapat tempat terbaik di hati keluarga sangat istri. Kini mereka bahkan memiliki rumah dan mobil pribadi dengan kehidupan yang layak.

"Saya akan terus memberikan sumbangsih ide dalam mewujudkan visi misi kampus ini. Karena di sini saya dilahirkan. Terimakasih STKIP Taman Siswa, khususnya pak doktor Ibnu Khaldun atas didikan dan suport selama ini. Melalui pak Ibnu rizki itu hadir kepada saya," tutupnya.(*)

 









COMMENTS

Nama

#Corona,124,ABRI,1,arena,54,Bandara,7,Bansos,52,Bawaslu,17,bhakti sosial,39,bima,2678,bima iptek,4,bima. Pariwisata,3,Bjayangkari,1,Coro,1,Corona,88,Covid-19,29,Curanmor,3,Daerah,1,Demonstrasi,2,des,1,Desa,53,dompu,134,Editorial,2,ekbis,226,Ekonomi,1,Ekonomi.,4,Eksbis,1,enterpreneur,1,event,1,explore,2,featured,122,Hoax,3,huk,2,hukrim,715,huksrim,3,hukum,1,Humaniora,1,HUT RI,1,inspiratif,1,iptek,30,Keagamaan,15,keamanan,8,kebudayaan,1,Kecelakaan,3,kehilangan,1,kejadian dan peristiwa,2,kemanusiaan,4,kepegawaian,1,kependudukan,12,kepolisian,168,Kesehatan,135,Kesenian,1,ketenagakerjaan,2,Kodim,15,Kominfo,5,Konflik,1,Korupsi,11,kota bima,306,KPU,3,KSB,2,lingkungan,115,lombok,109,Maklumat,2,Mataram,92,miras,1,Narkoba,8,Nasional,15,NTB,1,olahraga,24,Opini,50,Pariwisata,81,Pelayanan Publik,13,pembangunan,25,pembangunan.,2,pemerintahan,796,Pemilu,1,Pemprov,3,Pemprov NTB,143,pendidikan,398,pendidikan.,8,Perbankan,1,Perguruan Tinggi,3,perhubungan,7,perisstiwa,47,peristiwa,468,peristuwa,1,Perjudian,2,persitiwa,6,Pertamina,2,pertanian,40,Peternakan,3,politik,282,Politik.,9,Prahara,12,Prestasi,34,Provinsi,1,puisi,1,regional,5,religi,58,religius,43,Sains,1,SAJAK,1,seni,1,SKCK,1,sosbud,193,Sosial,42,Sosok,6,SUDUT PANDANG,1,sumbawa,21,Tajuk,2,Tekhnologi,2,TKI,5,TNI,1,transportasi,4,travel,5,Tribrata,1,Vaksinasi,25,video,18,warta bawaslu,1,
ltr
item
Poros NTB: Napak Tilas Dosen yang Lahir Dari Masjid Al-Barokah Sudirman: "Sebuah Pembelajaran untuk Mengerti Cara Bersyukur"
Napak Tilas Dosen yang Lahir Dari Masjid Al-Barokah Sudirman: "Sebuah Pembelajaran untuk Mengerti Cara Bersyukur"
https://lh3.googleusercontent.com/-OKtQTe7ia9Y/YRB16adg8UI/AAAAAAAARKg/U4AYHUWbOe8_BtCKGzxjfo6u0Z0mzqpswCLcBGAsYHQ/s1600/IMG_20210802_121530.jpg
https://lh3.googleusercontent.com/-OKtQTe7ia9Y/YRB16adg8UI/AAAAAAAARKg/U4AYHUWbOe8_BtCKGzxjfo6u0Z0mzqpswCLcBGAsYHQ/s72-c/IMG_20210802_121530.jpg
Poros NTB
https://www.porosntb.com/2021/08/napak-tilas-dosen-yang-lahir-dari.html
https://www.porosntb.com/
https://www.porosntb.com/
https://www.porosntb.com/2021/08/napak-tilas-dosen-yang-lahir-dari.html
true
2479742407306652642
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content