Dibaca Normal
![]() |
Musafir (tengah) foto bersama teman-temannya usai diwisuda |
Penulis : Edo Rusadin
Malang, Porosntb.com-Sama seperti namanya, Musafir adalah seorang yang terus melangkah maju dalam menggapai suatu tujuan. Dalam kondisi yang serba terbatas, buah hati dari pasangan Abdul Hamid dan Nurjanah ini menatap tajam kedepan demi masa depannya. Harus diakui, pemuda yang baru saja merengkuh gelar Magister Sosiologi ini punya visi kuat dalam mengarungi liku kehidupan.
Hal ini dibuktikan Musafir melalui predikat yang disandangnya menjadi wisudawan terbaik Pascasarjana UMM. Kondisi ini menjadikan dia sebagai satu-satunya mahasiswa Bima yang tampil sebagai cumlaude pada wisuda gelombang pertama UMM, Sabtu (29/2/20) kemarin.
Kesuksesan merengkuh predikat terbaik di kampus terkemuka di Kota Malang Jawa Timur, bukanlah hal yang mudah. Butuh ketekunan, keseriusan, pengorbanan, ada suka dan air mata yang menemaninya. Pil pahit kehidupan di rantauan membentuknya menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab.
Meski sukses menjadi yang terbaik, namun ada cerita lain dibalik prestasi yang diraih anak ke empat dari lima bersaudara ini. Dalam segala kekurangan itu, dia memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Meski itu berat, tapi pemuda kelahiran 1993 silam ini bertawakal dan berserah diri kepada-Nya dalam melakoni apa yang dia cita-citakan. Hal ini tentu disebabkan karena ekonomi keluarga yang sama sekali tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah.
Awalnya, tidak terpikirkan jika dia akan melangkah sejauh ini di dunia akademik. Karena dia tahu diri, untuk mengenyam sekolah tinggi butuh uang yang tidak sedikit. Dan itu sangat sulit bagi keluarga yang hanya bekerja serabutan di ladang milik tetangga seperti mereka.
Bahkan, untuk menyelesaikan S1 di kampung halaman saja, suatu kesyukuran baginya. Apalagi harus berbicara banyak di kancah strata dua (S2) di luar kota.
"Karena memang kami tidak punya apa-apa untuk membiayai kuliah. Tapi inilah cara Allah," ujar Musafir membuka isi curahan hatinya di acara Temu Kangen dengan anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Pascasarjana dan Dosen (FKMPD) Bima-Malang, Sabtu malam.
Seiring berjalan, waktupun menjawab semua itu. Musafir membulatkan tekad untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun harus tertatih dan jatuh bangun.
Jual Motor Butut dan Gadaikan Sertifikat Rumah
Kemauan untuk menuntut ilmu dan mimpi mengangkat martabat keluarga membangitkan semangat Musafir untuk keukeh melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Lahir dari rahim seorang ibu yang hanya sibuk di dapur dan ayah yang menjadi buruh tani dengan upah seadanya, bukan menjadikannya sosok yang minder.
Pada suatu hari, saat dia dan sang ayah tengah menggarap lahan milik tetangga, terbesit dalam hati Musafir untuk mengungkapkan isi hatinya yang ingin melanjutkan kuliah. Meski awalnya dia ragu akan disetujui oleh sang ayah lantaran alasan ekonomi.
Saat itu mereka duduk berhadapan di tengah sawah milik warga yang digarapnya dengan seluruh peluh menempel di badan. Dalam diskusi ringan antara anak dan ayah itu, rupanya menyisakan gejolak batin keduanya. Tak sadar, sang ayah meneteskan air matanya. Iya, dia merasa haru mendengar kemauan dan semangat anaknya yang ingin menuntut ilmu. Air mata sang ayah cukup beralasan, karena siapa mereka yang mau sekolah tinggi. Mereka hanya buruh tani, yang diupah hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Jangankan untuk biaya kuliah yang puluhan juta, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja mereka masih kesulitan. Belum lagi harus mendengar ocehan sinis dari tetangganya.
"Itu pertama kali saya melihat air mata ayah saya. Selama ini, orang tua saya terlihat tegar. Tapi kali ini dia menangis penuh arti. Ternyata harapan orang tua saya sangat besar kepada saya. Inilah yang membuat saya bertekad untuk mengangkat martabat keluarga. Ya mungkin dengan kuliah tinggi, keluarga kami akan dipandang. Walaupun biayanya belum kami bicarakan," kenang Musafir dan mengubah suasana forum seketika berselimut haru.
"Saya masih ingat kata ayah saat itu, bagaimana mungkin mereka mampu membiayai kuliah saya selama kami menjadi buruh tani. Tapi itulah orang tua, selalu ingin yang terbaik buat anaknya," ujar Musafir, dengan nada terbata-bata.
Setelah memberikan keyakinan kepada orang tuanya, sang ayah pun merestui kemauan Musafir. Dia pun bergegas menuju Kota Malang untuk mendaftar kuliah.
Saat hendak berangkat, masalah mulai menghampirinya. Iya, soal biaya transportasi menuju Malang dan biaya hidup. Tak ada pikihan lain saat itu, motor butut satu-satunya menjadi modal Musafir untuk bisa sampai ke Malang. Saat itu, dia menjual motor itu seharga Rp 2 juta. Uang itu dia gunakan untuk transportasi, biaya pendaftaran dan sisanya uang jajan.
Musafir pun lulus dan diterima di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Beberapa hari lulus, dia mulai kesulitan dengan biaya daftar ulang sebesar Rp 8.350.000 yang wajib dilunasi. Saat itu, Musafir sempat putus asa dan tidak berani menyampaikan ke orang tuanya. Karena dia tahu, uang sebanyak itu tidak mungkin didapatkan orang tuanya apalagi dalam waktu yang singkat.
Karena tidak ada kabar Musafir, orang tuanya mulai bertanya. Bagaimana kelanjutan kuliahnya, lulus atau tidak, dan sebagainya. Dia pun terpaksa mengungkapkan hal itu ke orang tuanya dengan berat hati.
"Saya menanyakan kembali kesiapan orang tua soal biaya itu. Saya sudah pasrah dan sudah mau pulang kampung. Karena saya yakin sulit buat dapatkan uang sebanyak itu," ceritnya, di malam yang sunyi ditemani rintik-rintik hujan.
Mendengar keluhan anaknya, membuat sang ayah memberikan penegasan yang cukup membekas di hati Musafir hingga saat ini.
"Kamu jangan pikirkan soal uangnya nak, yang penting kamu sudah diterima di kampus itu. Kamu pikirkan kuliah mu, masalah uang urusan kami nak," ujar Musafir mengutip kalimat ayahnya saat itu.
Air mata pemuda yang terkenal ramah ini pun mengalir dengan sendirinya mendengar pernyataan dari sang ayah. Ini menjadi pecutan semangat agar dia bisa kuliah sungguh-sungguh demi mengangkat nama keluarga. Keluarga pun berembuk dan memutuskan untuk menggadaikan sertifikat rumahnya ke bank.
"Ayah saya menggadaikan sertifikat rumah sebesar Rp 15 juta. Hanya Rp 8.350.000 yang saya gunakan, sisanya dikelola orang tua untuk menutupi bunga bank," ujarnya penuh lirih.
Meski sudah membayar lunas biaya pendaftaran ulang, namun penderitaan pemuda asal Desa Sukamaju, Wera ini tidak sampai disitu Dia harus berjibaku dengan biaya hidup di tanah rantauan. Serta harus berhadapan dengan biaya tugas dan lain-lain.
Musafir terus mencari cara untuk memecahkannya. Karena dia tidak ingin menambah beban orang tuanya. Cukup hanya biaya kuliah yang menjadi beban orang tua, jangan lagi yang lain. Itulah yang ditanamkan dalam dirinya dalam mengarungi kehidupan di Malang Raya.
Hingga suatu hari, dia menawarkan jasa untuk mengerjakan tugas teman-teman sekelasnya yang tidak sempat mengerjakan. Kebetulan dia cukup dipercaya teman-teman sekelasnya dalam mengerjakan tugas-tugas dari para dosen. Dengan begitu, Musafir bisa menyambung hidup walaupun hanya dibayar sepiring nasi.
"Teman saya banyak yang sibuk. Begitu cara saya menutupi biaya makan setiap hari," katanya.
Selain itu, Musafir juga pernah menjual buku-buku saat jasa pembuatan tugas lagi sepi. Walaupun tidak seberapa, tapi cukup membantu.
"Jujur saja, untuk uang belanja, tidak ada yang dikirim hingga mencapai jutaan dari orang tua. Saya hanya dikirim paling tinggi Rp 200 ribu. Tinggal bagaimana cara saya memikirkan pengelolaan uang itu," ungkapnya, disambut tangis haru anggota forum yang memecah kesunyian malam saat itu.
Setiap waktu pembayaran SPP tiba, Musafir terus memutar otak. Namun uang sebanyak itu mustahil ia dapatkan. Tapi atas izin Allah, tetap saja ada jalan keluarnya.
"Tetap ada jalan keluar dari kesulitan saya. Karena keinganan saya dan orang tua yang sangat besar, sehingga kami bisa melewati masa-masa susah itu," kenangnya.
Kini Musafir sudah menyelesaikan studinya. Beban kuliah dan biaya hidup yang didera selama dua tahun ini, sudah sirna dalam pikirannya. Hanya saja, dia masih mendapat tantangan baru untuk masa depan setelah ini. Dia bertekad untuk membayar sertifikat rumah yang telah digadaikan dan mengangkat martabat keluarga. Dia memohon doa dan dukungan teman-temannya yang selama ini mendukung dia dalam berkarier.
"Saat bimbingan tesis, ada sindiran halus dari dosen pembimbing soal cara penulisan. Saya punya semangat untuk mengubah hal itu. Saya punya mimpi ingin menjadi seorang penulis. Tentu saja untuk meraih itu semua, perlu doa dan dorongan semua teman-teman dan orang tua. Sehingga saya bisa mengembalikan semua yang hilang saat saya kuliah," tegasnya.
Sementara ayahanda Musafir, Abdul Hamid yang juga hadir pada saat itu, menegaskan jika memang dirinya hanya buruh tani di ladang orang. Pekerjaannya setiap hari menyemprot bawang milik tetangga. Upahnya pun tidak seberapa, hanya cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari.
"Bukan dikarang-karang, jika saya adalah buruh tani yang setiap hari menunggu panggilan. Banyak sindiran tetangga yang mencibir soal kuliah anak saya. Tapi itu menjadikan saya semangat untuk mencari uang," katanya melanjutkan cerita sang buah hati.
Menurut dia, Musafir harusnya diwisuda tahun 2019. Lantaran tidak punya biaya, sehingga proses wisuda pun ditunda sembari menunggu uang dikumpulkan sedikit-sedikit.
"Semoga ilmunya bermanfaat bagi semua. Harapan kami, semoga dia bisa menjadi orang sukses dan terpandang," do'anya mengakhiri curahan hati anaknya. (*)
COMMENTS