Penulis : M. AL Qautsar Pratama, Hum |
Penulis adalah Dosen Sejarah Islam UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Satu minggu tepat sebelum di bukanya pesta olahraga terbesar bagi bangsa Indonesia tahun ini yakni PON XX Papua. Isu tidak mengenakan kembali dilontarkan oleh Vanuatu salah satu negara kecil yang berada di kawasan Pasifik.
Dalam sidang umum tahunan PBB Vanuatu kembali menyentil Indonesia dengan isu yang sama yakni penegakan HAM di Papua Barat. Sudah tidak terhitung berapa kali tuduhan ini dilontarkan oleh negara-negara miskin di kawasan Pasifik, namun Vanuatu adalah salah satu yang proaktif menyuarakan isu ini pada forum internasional. Vanuatu selalu memilih untuk bersikap kontraproduktif dan menampilkan sikap yang tidak bersahabat dengan Indonesia.
Saya percaya bahwa Vanuatu berani menyuarakan hal tersebut atas dasar bahwa ada yang menyokong dari belakang bahkan terkesan menjadi boneka bagi negara-negara besar yang punya kepentingan terhadap isu Papua Barat. Bob LoughmanWeibur selaku Perdana Menteri Vanuatu menuduh Jakarta melanggar HAM dalam penyelesaian isu Papua dan mendesak Komisi HAM PBB agar melakukan penyelidikan secara mandiri langsung turun ke Papua untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Tentunya tuduhan tersebut menjadi bola liar yang tidak mendasar ketika suatu bangsa lain dengan mudah menyuarakan urusan domestik negara lain. Sekretaris ketiga Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York Sindy Nur Fitri membungkam Vanuatu yang menyinggung soal pelanggaran HAM di Papua Barat. Sindy dengan elegan kembali menyerang tuduhan pelanggaran HAM di Papua sebagai bentuk pemutar balikan fakta.
HAM hanya dijadikan senjata bagi Vanuatu untuk bisa ikut campur urusan Papua Barat padahal Vanuatu sendiri belum tentu paham terhadap apa yang terjadi di Papua. Sindy menambahkan bahwa kemana Vanuatu ketika banyak warga sipil terbunuh, perawat dan dokter, pekerja kontruksi dan penjaga keamanan terbunuh secara tragis oleh pihak kelompok bersenjata di Papua.
Vanuatu seakan-akan menutup mata ketika banyak fasilitas kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat sipil dibakar begitu saja oleh kelompok teror hampir setiap tahun. Jadi yang menjadi pertanyaan, bentuk HAM seperti apa yang disuarakan oleh Vanuatu? Jelas jawabannya adalah hanya omong kosong dan harapan palsu. Jika dilihat dari sejarahnya pada sekitar tahun 80-an pemerintah Indonesia mulai membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara di kawasan Pasifik.
Kerjasama yang terlihat lebih kedalam bentuk kebudayaan terutama yang berada di area Pasifik Selatan dengan tujuan untuk meminimalisirtuduhan-tuduhan negara tersebut terhadap isu Papua Barat dan menumbuhkan rasa saling menghargai antar bangsa agar terciptanya ekosistem global yang damai.
Namun seiring berjalannya waktu hubungan Indonesia dengan negara Pasifik tidak berjalan dengan maksimal karena memang secara diplomatik tidak terlalu menguntungkan bagi kepentingan nasional. Jauh dari isu kesamaan ras dengan orang Papua sebenarnya ada agenda besar dari negara-negara kecil di Pasifik ini untuk bisa mengontrol dan mengintimidasi rakyat Papua Barat agar terus mengembangkan isu-isu separatisme dengan dalih HAM palsu sebagai alasan kuat untuk menyerang pemerintah Indonesia tentunya dengan sokongan secara tidak langsung dari pihak-pihak yang punya kepentingan terhadap isu Papua Barat.
Saya sendiri sebagai masyarakat Indonesia mengambil sikap untuk mengabaikan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar tersebut dengan fokus melihat bagaimana Papua sekarang berkembang secara perlahan-lahan menjadi daerah yang maju kedepannya. Pembukaan PON XX Papua yang megah menjadi saksi bagaimana pemerintah Indonesia tengah serius meratakan pembangunan baik secara SDM dan SDA ke seluruh pelosok negeri dengan melibatkan orang-orang lokal sendiri di dalamnya.
Bahkan dalam pidatonya Presiden Jokowimengajak seluruh partisipan untuk merayakan PON dengan penuh sukacita, sportivitas, semangat persaudaraan, serta kebersamaan, kesetaraan, dan persatuan bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi kunci bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai keberagaman.
COMMENTS