Ilustrasi pernikahan usia anak (Foto credit : www.suara.com) |
Pernikahan usia anak adalah perkawinan yang terjadi ketika seorang pria atau wanita masih berada di bawah batas usia yang diatur oleh Undang-Undang Pernikahan. Fenomena ini bukanlah hal yang baru di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak atau remaja yang belum dewasa dan masih membutuhkan bimbingan orang tua. Kasus pernikahan usia anak sering ditemukan di masyarakat, khususnya di daerah pedesaan, dan umumnya dialami oleh keluarga dengan kondisi ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan yang masih kurang. Dalam pernikahan anak, kesiapan dari segi mental, psikologis, dan finansial sering kali belum matang atau memadai.
Berdasarkan laporan profil Anak Indonesia
tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 39,17 persen atau 2 dari 5 anak perempuan
usia 10-17 menikah sebelum usia 15 tahun. Sekitar 37,91 persen kawin di usia 16
tahun, dan 22,92 persen kawin di usia 17 tahun. Angka tersebut menempatkan
Indonesia pada peringkat ke tujuh tertinggi di dunia serta menduduki peringkat
kedua di ASEAN. Pernikahan dini terjadi pada fase remaja. Masa remaja adalah
masa peralihan atau masa transisi dari anak menuju masa dewasa dan mempunyai
rasa ketertarikan dengan lawan jenis (Diananda, 2018) Remaja mengalami
pertumbuhan dan perkembangan pesat pada aspek fisik, psikologis dan juga
intelektual. Beberapa karakteristik remaja yaitu memiliki keingintahuan yang
besar, menyukai petualangan dan tantangan serta berani menanggung risiko atas
perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Hal ini menyebabkan
remajamudah melakukan seks bebas yang berakhir pada pernikahan
dini (Tsany, 2015).
Salah satu upaya penanggulangan masalah perkawinan remaja adalah meningkatkan pendidikan pada wanita dengan bersekolah yang tinggi. Wanita yang berpendidikan rendah cenderung melakukan pernikahan dini (Hapisah dan Rizani 2015). Pernikahan usia anak memiliki keterkaitan yang erat dengan kesehatan reproduksi karena pada usia dini, pemahaman tentang perawatan kesehatan dan informasi seputar reproduksi masih sangat minim. Anak yang menikah di usia dini cenderung kurang memiliki pengetahuan mengenai perencanaan keluarga, kesehatan ibu dan anak, serta cara menjaga kesehatan reproduksi. Keterbatasan pengetahuan ini mengakibatkan rendahnya kesadaran dalam merawat kesehatan diri dan mengenali tanda-tanda risiko selama kehamilan atau persalinan. Selain itu, anak-anak yang menikah muda juga belum mendapatkan edukasi yang cukup tentang akses dan hak mereka terhadap layanan kesehatan reproduksi, sehingga sering kali terjebak dalam situasi di mana mereka tidak mendapatkan dukungan medis yang memadai.
Untuk
mengatasi hal ini, diperlukan upaya pencegahan yang melibatkan berbagai pihak.
Salah satu langkah penting adalah meningkatkan edukasi kesehatan reproduksi
sejak dini, terutama di sekolah-sekolah, agar anak-anak lebih memahami risiko
pernikahan dini terhadap kesehatan mereka. Selain itu, peran orang tua dan
masyarakat sangat penting dalam memberikan dukungan dan pemahaman kepada
anak-anak mengenai pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang cukup matang.
Pemerintah juga perlu memperkuat sosialisasi dan menerapkan batas usia
pernikahan yang sesuai dengan aturan hukum, serta memberikan akses yang lebih
luas terhadap program kesehatan dan konseling remaja, khususnya di daerah
pedesaan. Pemberdayaan ekonomi bagi keluarga yang kurang mampu juga dapat
membantu mencegah pernikahan usia anak, karena faktor ekonomi sering menjadi
alasan utama yang mendorong pernikahan dini.
Dalam teori Health Belief Model
(Rosenstock, 1974), disebutkan bahwa individu akan mengubah perilakunya ketika
mereka menyadari ancaman yang dapat timbul dari perilaku tersebut. Dalam
konteks pernikahan dini, jika remaja dan keluarganya menyadari risiko kesehatan
yang timbul akibat pernikahan dini, mereka lebih mungkin untuk menunda
pernikahan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi tentang
risiko kesehatan reproduksi kepada masyarakat. Teori ini mendukung pendekatan
preventif melalui peningkatan kesadaran dan informasi yang cukup tentang dampak
buruk pernikahan dini terhadap Kesehatan.
Penulis : AMILIA WULANDARI, Mahasiswa Universitas Mataram, Program Studi Sosiologi
COMMENTS