Dibaca Normal
![]() |
Gambaran tradisi "Ndempa" ( Photo credit : Edi Kurniawan ) |
Bima, Poros NTB.- Banyak yang menyimpulkan bahwa
tingginya konflik sosial yang terjadi di Bima merupakan warisan dari Tradisi
Ndempa. Itu tidaklah sepenuhnya logis dan cenderung spekulatif.
Mengasosiasikan
tawuran sangar antar warga masa kini dengan Ndempa, juga kurang tepat.
Lebih-lebih menempatkan Ndempa dalam konteks budaya barbarian, itu sangat tidak
bijaksana. Karena gambaran Ndempa yang sebenarnya itu sangat elok.
Bagi
masyarakat Bima, Spirit (filosofi) Ndempa bukan hanya terletak pada
adu bogem untuk unjuk reman.
Lebih dari itu, bagi mereka, Ndempa merupakan sebuah tarian
laga di Pesta Panen. Jenis ‘tarian’ yang sangat representasional.
Alurnya jelas, tertata,
dan manusiawi. Bukan ‘tarian’ mimitif
yang meniru-niru banteng liar.
Ndempa
punya aturan main, meski tak tertulis. Punya batasan, meski tak berwasit.
Para
pelaga Ndempa biasanya sangat mematuhi aturan main dan batasan yang ada, meski tak berhakim.
Eloknya lagi, Ndempa tidak hanya melibatkan
sekelompok pemuda, tapi juga melagakan anak-anak dan mereka yang di rentang
lansia awal (46-55).
Seseorang dianggap pelaga jika ia berada dalam batas
gelanggang. Di luar itu adalah
penonton yang tidak boleh diserempet bogem.
Dalam Ndempa, hanya boleh mengandalkan bogem dalam berduel. Tidak diperkenankan ada senjata dan
keroyokan. Bagi pelaga yang tersungkur tidak akan dicecar.
Karena
Ndempa hanyalah permainan unjuk wira. Tarian laga para wira yang penuh kehangatan
dan persahabatan.
Tidak heran, selepas laga tidak diekori dendam meski telah beradu
jotos sampai babak belur, karena laga hanya berlangsung dalam gelanggang.
Orang
di luar Bima bisa jadi akan tersesat dalam gambaran, bahwa Ndempa adalah
perkelahian massal yang semrawut dan beringas. Seruduk sana seruduk sini, tebas
kanan dan tebas kiri. Itu sebenarnya jauh panggang dari api.
Di
Kecamatan Woha, contohnya, Ndempa sangat popular hingga di akhir era 80-an. Ndempa
merupakan tontonan yang sangat diminati masyarakat selain pacuan kuda. Bahkan kaum wanitapun kala itu rela mendaki Gunung Samili untuk menonton
Ndempa.
Biasanya gelanggang yang dipakai berada di lokasi perbatasan antara dua
‘kubu’. Kubu tersebut bisa merupakan sebuah Desa, atau perkampungan, bahkan
lingkup RT yang biasanya bersebelahan.
Yang
menarik adalah biasanya yang dijago-jagokan oleh kedua kubu akan belaga di
‘partai’ akhir. Partai awal Ndempa melagakan anak-anak, kemudian mereka yang
beranjak dewasa. Awal Ndempa, para pelaga biasanya melakukan aksi “Katara Angi” (BI
: Tunjuk Tantang) dan
memprovokasi lawan yang dipenujui agar mau berduel. Kalaulah gayung tersambut
barulah duel terwujud. Awalnya para pelaga dilepas solo untuk memanaskan
suasana.
Setelah
suasana memanas mereka akan maju beramai-ramai (Ndempa Ndiha), tapi tetap tidak
ada keroyokan. Biasanya sebelum maju beramai-ramai, kedua kubu sudah mbolo (BI
: tukar pikir)
untuk menyasar lawan tanding masing-masing. Ndempa Ndiha inilah yang paling
meriah.
Belum
bisa dipastikan, di wilayah mana di Bima ini Ndempa berasal. Banyak yang
menengarainya berasal dari Desa Ngali Kecamatan Belo, mengingat Ngali sangat
kental dengan tradisi ini.
Konon, mulanya Ndempa hanyalah unjuk kebolehan antara dua
orang pria yang dipertontonkan kepada khalayak untuk memeriahkan ‘Pesta Panen’
kala itu. Kemudian lambat laun, dari tontonan yang melibatkan satu duel
berkembang menjadi sekelompok duel, hingga
akhirnya laga massal.
Waktu
yang dipakai untuk Ndempa biasanya ba’da ashar sampai jelang maghrib. Setelah
itu bubar teratur balik kubu tanpa perlu diusir tentara.
(Aden)
COMMENTS