Dibaca Normal
[bgallery]
[img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgc1p2gFSp3m-O3LZ_GujmVMAnIIJR-zvK0qfmg5lmCrUrLJ2pTwMcncFZjOvQeM-Voy0YqXog7SjCaC0NBOL6T56ShGPQm2DUiJlCny_Ai5HAqKNLOqtokwU16wSFuqRXInBq9uT3wn0sB/s1600/WhatsApp+Image+2019-08-02+at+12.29.05+%25281%2529.jpeg"][/img]
[img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEikPvUgdWBbJVPYSJ0q03IgXfQjQsFD2NcWaKLZA0WS_6E_7ZvjDnMbnULlJPMj1Fkb0nCNLh1oANEgobvDFIICVQux4ThOyLQ792a7OFQOGVPTYkdmMDt1ZKWzu8zyIpsvTr4qaMdTKGPd/s1600/WhatsApp+Image+2019-08-02+at+12.29.05.jpeg"][/img]
[img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggkuTfgmlEpoR73LW1gXEFuLxEItW0aX_f6FexSYu6veCWKNWcn5GXwzAWBz2aX6xRk5wrh6RJIYOR_P8qAevK7_yf_1GWQC_J8uivFJI1Cn4vBTtUJlP_E03vTmExkVqjqxgnKWckAbs5/s1600/WhatsApp+Image+2019-08-02+at+12.29.06+%25281%2529.jpeg"][/img]
[img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhT4wYJ7XhGVL0jkX_aT9OL2WLV8V-SzTWfKs7XkGrcCya-p1ClWqCRpOmoz_jhUCTPYAcOPhZE-7edhsCNtU5365lRYbbxpSdaXY0I7DBKnQuiZBkXlH4DYWVV6HbYT9gnYGLv95l9I0oq/s1600/WhatsApp+Image+2019-08-02+at+12.29.06+%25282%2529.jpeg"][/img]
[img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdLMFOoHjfAd0srPD3XBg1RCjYmzPY6fa29txyNM6LZI-Zu9uAAeO9FKhNRi_AEen8EmB1EvNtWtjtrUhe0oDicasc4aVjDN7geZBxf9O7lzksIuPI_YLi3ho1TnFCPsxnapCOcNuW2S7b/s1600/WhatsApp+Image+2019-08-02+at+12.29.06.jpeg"][/img]
[/bgallery]
Untuk
diketahui, pewarta Poros NTB sampai menjulukinya “Albert Einstein-nya” Desa
Mpuri. (Poros11)
Bima, Poros NTB.- Kemampuan manusia beradaptasi,
memang merupakan karuniaNya yang nyata tanpa batas usia. Kalaulah tidak,
manusia sudah lama punah jika tidak dibekaliNya dengan perangkat kreatifitas dalam
beradaptasi dengan alam yang tak dapat dihindarkan. Berikut ini menjadi sekelumit contohnya.
Adalah seorang
kakek bernama Sudirman, warga Desa Mpuri
Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Meski tidak menyandang title sarjana dan usianyapun tergolong tengah memasuki
ambang senja, namun ternyata masih mampu berkreatifitas menciptakan inovasi
untuk menjawab tantangan alam yang dihadapinya.
Berawal dari kerisauannya
terhadap sepetak sawahnya di “So Tolotemba” yang merupakan kawasan lahan tadah
hujan, yang hanya bisa ditanami
sekali setahun.
Belum lagi ditambah dengan
dampak kekeringan saat ini. Jika tidak, kata dia, sawahnya sangatlah potensial untuk
ditanami dengan sayur mayur
pada musim kemarau.
Iapun mulai memikirkan solusi untuk
mengatasi hal tersebut. Berbagai ide sempat keluar masuk di benaknya. Namun, akhirnya
ia menemukan solusi yang menurutnya tepat, yakni dengan membuat alat Pompa Air
Tenaga Angin yang dirakitnya secara mandiri.
Akhirnya dengan hanya
memanfaatkan kecepatan hembusan angin kemarau, mimpinya untuk bisa menanami
sawahnya dua kali dalam setahun kini menjadi terwujud.
“Ide ini muncul karena sawah kita
di sini hanya bisa ditanam sekali setahun. Beda dengan dulu,” ujar kakek
Sudirman.
Ia menuturkan, kawasan “So
Tolotemba” ini dulunya termasuk kawasan
lahan yang memiliki ketersediaan air yang cukup, dan minimal
bisa ditanami dua kali setahun oleh petani.
Namun beberapa dekade terakhir ini, sejak DAM “Keru”
yang menyuplai air kawasan ini sudah
tidak aktif lagi.
“Jadinya petani hanya bisa tanam sekali setahun saja,” katanya.
Ia berharap, Pemerintah
Desa Mpuri dan Pemerintah Daerah bisa memberikan solusi atau bantuan untuk
mengatasi masalah kekurangan air ini.
Tapi nampaknya, ia sendiri tidak
sadar sedang menawarkan solusi bagi Pemerintah Daerah dengan mencontoh
kreatifitasnya membuat alat Pompa Air Tenaga Angin. Siapa tahu pemerintah
tertarik untuk melakukan survey lapangan dan membuat program pengadaan alat
pompa air yang lebih banyak lagi untuk para petani, dimana ia bisa menjadi
mentornya.
COMMENTS