Kota Bima, porosntb.com.- Dua terdakwa perkara korupsi
pengadaan tanah untuk relokasi rumah korban banjir di Bima, Nusa Tenggara Barat
(NTB) tahun 2017 mengajukan banding, menyusul putusan pidananya yang
disampaikan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Mataram, Selasa (6/4).
Juru Bicara Pengadilan Negeri Tipikor Mataram Abadi, di Mataram, Rabu,
membenarkan bahwa kedua terdakwa yakni Usman dan Hamdan telah menyatakan ke
hadapan majelis hakim untuk mengajukan banding.
"Pengajuan banding disampaikan secara langsung dalam sidang
putusannya," kata Abadi.
Penasihat hukum Usman, Syarifuddin Lakuy menjelaskan alasan kliennya mengajukan
banding. Kliennya melihat ada fakta hukum yang terungkap di persidangan, namun
tidak dipertimbangkan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan.
"Jadi uang negara yang dianggap diambil klien saya itu tidak ada yang
dinikmati. Itu gunung diratakan jadi lahan, uangnya sepeser pun tidak ada klien
saya ambil. Klien saya merasa dikriminalisasi, makanya ajukan banding,"
kata Syarifuddin.
Menurutnya, surat kuasa terhadap Usman sah. Hal itu merujuk pada Pasal 71 ayat
1 huruf C Perpres Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Di huruf c diatur pihak yang berhak dapat memberikan kuasa kepada pihak
lainnya. Siapa saja itu berhak, maka itu sah," ujarnya.
Syarifuddin pun menyinggung soal uang yang disebut dinikmati Usman. Hal
tersebut dinilainya juga tidak beralasan.
"Hanya Rp200 juta yang diterima, dianggap itu uang lelah Pak Usman yang
meratakan tanah. Sisanya untuk pembayaran tanah. Itu yang tidak
dipertimbangkan," ujar dia pula.
Dalam kasus ini, Usman berperan sebagai pihak yang menerima kuasa dari para
pemilik lahan untuk pembayaran harga tanah. Sedangkan Hamdan merupakan mantan
Kadis Perumahan dan Permukiman Kota Bima.
Pada putusan hakim, Hamdan dihukum penjara selama empat tahun enam bulan.
Hamdan dinyatakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Mataram yang dipimpin I
Ketut Somanasa, terbukti korupsi pengadaan lahan relokasi banjir tahun 2017
yang merugikan negara Rp1,638 miliar. Hamdan terbukti membayar tanah di atas
harga standar.
Selain pidana kurungan, Hamdan juga dijatuhi pidana denda Rp200 juta yang
apabila tidak dibayar harus diganti kurungan empat bulan.
Sementara Usman dihukum lebih berat, yakni enam tahun penjara dengan denda
Rp200 juta subsider empat bulan kurungan. Usman juga dibebankan untuk membayar
seluruh kerugian negara yang muncul, sebesar Rp1,638 miliar.
Pembayaran kerugian negara itu diberikan tenggat waktu satu bulan sejak
putusannya berkekuatan hukum tetap. Apabila tidak dibayarkan, maka harta benda
Usman disita dan dilelang. Jika harta bendanya tidak mencukupi, maka Usman
wajib menggantinya dengan penjara selama satu tahun enam bulan.
Pertimbangan hakim membebankan Usman untuk membayar seluruh kerugian negara
dalam kasus ini dilihat dari fakta persidangan, yakni menerima pembayaran lebih
dari harga tanah sebenarnya.
Karena itu, Usman dalam putusan hakim dijatuhi pada pembuktian Pasal 2 juncto
Pasal 18 UU RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Terkait dengan adanya pernyataan banding dari kedua terdakwa, jaksa penuntut
umum Fajar Alamsyah Malo belum memutuskan untuk turut mengajukan upaya hukum
lanjutan terhadap putusan tersebut. Fajar mengatakan bahwa pihaknya masih akan
berkoordinasi kembali dengan pimpinannya.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum sebelumnya mengajukan tuntutan terhadap
Hamdan dengan pidana penjara selama lima tahun enam bulan, dan denda sebesar
Rp300 juta subsider empat bulan kurungan.
Begitu pula tuntutan untuk Usman, pidana penjara lima tahun enam bulan dan
denda Rp300 juta subsider empat bulan, dengan penambahan beban untuk membayar
uang pengganti kerugian negara Rp1,638 miliar subsider dua tahun penjara.
Sumber : LKBN Antara Mataram
COMMENTS