Dibaca Normal
Oleh: Muhammad Shafir
Anakku, ada yang ingin ayah katakan padamu…
Pada saat engkau terbaring tidur. Dalam khayalan, Ayah menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu, membelai rambutmu yang setengah pirang bergelombang dan mengusap dahimu yang lembap. Baru beberapa menit yang lalu, ketika Ayah membaca buku di ruang kamar yang hampa, satu suapan sesal yang amat mendalam menerpa. Di alam khayalan, dengan perasaan bersalah Ayah datang masuk menghampiri pembaringanmu.
Ada banyak hal yang Ayah pikirkan, Nak; Ayah selama ini bersikap salah padamu. Ayah menjauh disaat kau membutuhkan kasih sayangku. Betapapun sakitnya ketika itu, saat ini dan entah kapanpun nanti, Ayah berharap semoga engkau cukup merasakannya. Tetaplah kau terlihat bahagia, tersenyum dan tersipu malu dengan raut wajahmu yang mungil seperti saat ini.
Anakku tersayang….
Sesungguhnya banyak hal yang baik dan benar dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama besarnya dengan fajar yang memayungi bukit-bukit luas. Semua ini kau tunjukkan dengan sikap spontanmu saat kau menjawab pertanyaan orang lain dengan berkata: “Ayahku sudah pergi sekolah dan tidak pernah kembali”.
Nak… Engkau memang tak pernah tahu. Dalam lelah, Ayah menuju ke tepi pembaringmu yang bersekutu dengan kegelapan, dan Ayah berlutut di sana, dengan rasa malu!
Ini adalah sebuah rasa tobat yang lemah; Ayah tahu kau tidak pernah akan mengerti hal-hal seperti ini. Tapi esok hari Ayah akan menjadi ayah yang sejati. Ayah akan semakin karib denganmu, dan ikut menderita bila kau menderita, dan tertawa bila kau tertawa. Ayah tidak akan pernah mengulangi kesalahan ini untuk kedua kali. Ayah akan terus mengucapkan kata ini seolah sebuah ritual: “Dia cuma seorang anak kecil, anak perempuan kecil yang membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya”.
Anakku….
Ayah khawatir sudah membayangkanmu sebagai seorang anak yang hidup tanpa semangat. Namun, saat Ayah memperhatikanmu dari jauh, kau terlihat semangat dan sudah tumbuh besar layaknya seorang anak perempuan yang terlahir dari sepasang ayah dan ibu yang hidup bersama. Kemarin kau masih dalam gendongan ibumu, kepalamu berada di bahu ibumu. Ayah merasa malu dan menyesali perbuatan ayah ketika itu yang tak mampu bertahan dari guncangan dahsyat, sungguh malu dan menyesal.
(Sebagai ganti dari rasa penyesalan dan pelajaran untuk kita semua, mari kita coba untuk memahami mereka. Mari kita berusaha mengerti tentang apa yang mereka butuhkan. Hal itu jauh lebih bermanfaat dan menarik minat daripada menjauhi dia karena guncangan emosi yang sebenarnya itu mampu kita tahan.) (*)
*Penulis adalah seorang akademisi kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Hamzar Lombok Utara.
COMMENTS